Rabu, 17 Februari 2016

TUJUH ANAK PANAH 4-8

Kukira jamban selalu buruk

Kedua anak panah telah berada di tubuh
Ening berdiam di perut
Sedangkan Jati ada di ulu hati


Jamban yang tidak terlalu busuk
Tai disini indah-indah
Warna-warni seperti pelangi
Kalau dijilat terasa seperti
Blueberry

Jamban ini membuai
Kebiasaan seorang manusia
Saat di Jamban ada dua kemungkinan
Pertama...Buang hajat
Kedua...Buang drajat

Buang hajat sangat dianjurkan
Baik bagi kesehatan
Menjauhkan diri dari beragam penyakit mematikan

Beda kasusnya kalau
Buang drajat
Bakal calon manusia berenang diantara selok comberan
Wadah-wadah untuk jiwa itu
Dibuang sia-sia

Hal semacam itu bukan apa
Hanya kalau keseringan
Bisa-bisa mendatangkan
Malapetaka


Jamban ini benar-benar aneh
Tidak ada tanda-tanda akan kemunculan panah ketiga
Kata orang-orang tua
Panah ketiga sangatlah membingungkan

Pikiran lamunan kabur seketika
Sebuah kotoran sejati turun dari awang-awang
Langit-langit jamban memerah kekuning-kuningan
Kemudian dari atas
Jatuh orang-orang yang menjijikkan

Orang-orang yang nampaknya kukenal
Hanya saja aku lupa namanya
Mereka 'telebok', jatuh di permukaan jamban indah
Seketika jamban yang indah ini
Menjadi perbukitan tai

Mereka merusak panorama
Pohon-pohon berganti tai
Udara sejuk tadi kini beraroma tai
Burung-burung yang melintas, mati

Mereka membawa satu panah
Sayangnya panah itu berada di antara dubur
Mencuat keluar
Sedangkan orang-orang jatuh
Bercinta seperti kawanan serigala

Kalijodo baru ada disini
Dolly berenkarnasi
Akibat hotel-hotel yang terlalu berharga tinggi

Bagaimana cara mengambilnya ?

Salah seorang wanita diantara kerumunan mendatangi
Mencekik leher dan sampai badanku terjengkang
Dia naik ke atas kegagahan
Mulutnya berlidah api
Matanya menyembunyikan pelangi
Apa daya....


Setelah pertarungan keras
Keringat kucur deras
Badan seketika lemas
Senampang
Keperjakaanku harus terlepas dari genggaman
Tanpa kesadaran....

Yang penting panah 'Wrang'
Bersarang dimulutku
Orang-orang jatuh mengerumuniku
Menelanku bulat-bulat
Menjauhkanku dari dunia tai


Yogyakarta, Februari 2016

Senin, 15 Februari 2016

TUJUH ANAK PANAH 3-8

Satu anak panah telah kudapat
Kutelan bulat-bulat 
Masuk ke perut kecil
Kurang roti
Kurang jatah makan
Setiap hari dimasuki nasi kucing kecil


Ening berdiam diri di lambung
Asam tiada akan meleburnya
Ia akan anteng
Berdiam diri seperti jabang bayi


Aku telah jatuh ke atas
Semenjak dari sang Gelap
Kini dunia antah berantah terbentang
Di pelupuk mata
Hanya ada gurun
Tanpa matahari ataupun bulan
Cahaya yang ada
Tak tahu darimana arah datangnya


Sunyi
Air yang berdiam
Hangat
Api yang tersentuh kulit


Kaki berjalan sepuluh kali 
Ujung dan pangkal hanya sama
Filosofi macam apa ini?
Himpitan baru yang bernama kesendirian
Siapa musuhku disini?


Seseorang mendekat
Dekat sekali
Hingga nafasku sesak
Oleh keterkejutan ia terdesak
Di hadapanku
Wajah itu milikku
Mata itu milikku
Badan itu punyaku !!


Tunggang langgang 
Larilah ketakutan
Sampai lelah
Sejengkal aku tak mampu berpindah


Di dalam bola mata milikku itu
Terbaring anak panah kedua
"Jati"
Bagaimana cara mengambilnya?
Perlukah kucongkel?
Atau ku potong saja lehernya?
Kemudian ku catut keluar bola mata itu


Hentak suara guntur 
Kilatnya masuk tepat ke kedalaman jiwa
Suara riuh aneh terdengar
Habis sepi, ramai datang kemari
Gundah resah kalut


"Siapa ?!!"
"Akulah kamu, kamulah aku..."
"Omong kosong !"
"Kosong adalah isi, isi adalah kosong..."
"Kalimat basi !!"


Mata itu menundukkanku
Tertekuk di hadapan
Ia melotot dan panah itu
Semakin jelas terlihat
Makian-makian menceramahi wajahku


"Ibumu adalah pelacur !"
"Bapakmu adalah penjual benih kehidupan !"
"Kepintaranmu hanyalah fana !!"
"Kamu akan selalu kehilangan sesuatu yang berarti !!"
"Manusia busuk sepertimu, yang sering mengingkari janji..."
"Bumi ini tak pantas kamu huni !!!"


Mataku tertunduk
Gelai air tangis
Memaksaku untuk berdiri
Menatap dingin, dingin sekali
Aliran darahku secepat lesat
Suara dan cahaya dikalahkan
Gelegar jantung menghentak lantak


Kutatap mata itu
Dingin, dingin sekali


Kubunuh manusia yang bernama
'AKU'
Kucaci habis-habisan
Dan akan kucari
'AKU' yang baru lagi !!


Mata itu remuk redam
Berdarah luruh
Dendamnya habis
Pandangan dingin yang telah menaklukkannya


Dari bola mata coklat itu
Mencuat keluar anak panah 
"Jati"
Kupegang erat dengan tatapan kosong


Ratapan serigala terdengar
Tsunami menghantam
Air bah yang tak tahu asalnya memenuhi diriku
Yang masih tak sadarkan diri
Menghempaskan tubuh serta keberadaanku
Ke Jamban Raksasa



Yogyakarta, Februari 2016

Minggu, 14 Februari 2016

TUJUH ANAK PANAH 2-8

Hujan uang haram
Sensasi selebriti perlihatkan paha dan dada mulus
Kantor pemerintahan di-dekorasi dengan air mani
Sedangkan Langgar
Tak pernah lagi terdengar
Di rimba, siapa yang bayar maka dialah yang didengar
Berondong peluru
Pasukan anti teroris memberontak
Kini mereka jadi teroris
Seorang bocah kecil ikut bawa pistol
Mereka menembaki kebosanan
Ketentraman yang terlalu lama
Hingga manja akhirnya menghanyutkan
Dua anjing penjaga masih lelap
Terasing dalam mimpi abadi
Sedikitpun tak taruh empati
Sang Gelap telah terlewati
Demi tujuh lapis neraka
Kengerian yang kuhadap
Himpitan sangsi di depan
Memaksa untuk muntah
Namun harga laki-laki terletak pada terealisasinya sebuah janji
Seonggok bangkai kerbau raksasa
Darah hitam pekat
Jadi sungai
Diam membangkai di ujung sinai
Anak panah pertama
Bernama, ''Eneng''
Lalat-lalat sebesar bola kasti
Mengelilingi sekitar
Membawa bau biadap kerbau raksasa
Dari dalam perut yang buka nganga
Terlihatlah ''Ening''
Tanganku repot menekan hidung dan mulut
Kaki menghentak-hentak ke tanah
Bagaimana cara mengambil?
Kubuka paksa seluruh indra
Tak kututupi dengan bekap
Muka pucat nasi
Lemas menghirup sesak kebusukan
Langkah goyah
Jijik merekah
Tersungkur jatuh di bantalan empedu
Tinggal satu langkah
Ngesot
Setidaknya untuk kebaikan bukan untuk menjilat pantat
Tangan kananku berhasil meraih
Anak panah pertama berhasil tergenggam
Pada akhirnya aku jatuh ke atas
''Ening:'
Yogyakarta, Februari 2016

TUJUH ANAK PANAH 1-8

Malam tepekur
Kepala kelelawar juntai ke bumi
Matahari bersilang dada di sisi lain
Menghadap gunung dan lembah-lembah
Di Marcapada
Tidak butuh waktu lama untuk mati
Hidup adalah berharga
Dibanding kehormatan semata
Atas dasar itu
Pertikaian menyimpan kado terbaik
Yakni hidup
Pertama kali aku melihatnya
Jalan gelap hitam
Merahasiakan kepedihan dalam
Termangu pada ambang pintu
Anjing-anjing penjaga tidur
Tak terbangun oleh erangan
Perawan cantik yang sedang diperkosa
Tumbuh perkasa sang gelap
Mimpi buruk ditelan semua
Kotorannya, kesepian
Langkahku kaku
Dan terhampar angkuh di depanku
Teramat lelap sang Gelap
Satu langkah ke depan atau belakang
Kalau saja kehormatan bukan soal
Pasti tegas aku pergi dari ambang pintu
Anjing+anjing mendengus basah
Erangan bocah kecil yang kepalanya dicabut dari pangkal leher
Tugas seberat ini mengapa aku?
Banyak yang lebih layak
Dibelakang
Serdadu-serdadu menghamili ibu-ibu hamil
Jendral, Komandan dan Letnan
Tidur pada kasur emas empuk
Bergulingkan pelacur istana
Komersialitas akan kebaikan
Jaminan untuk pendakian
Menuju kesewenang-wenangan
Ideologi serta kebudayaan dibedakan
Pembedanya mengumpama
Air kencing kuda atau air kencing manusia
Kacau, luluh rantak tanah darah
Kyai dan dukun berkoalisi
Ingin membuatku mati bunuh diri
Bai'at tadi sia-sia belaka
Karangan indah tentang Tujuh Anak Panah
Beserta busur kedamaian
Semuanya busuk
Belatung tua yang menimpakan tanggung jawab pada anak muda tak pantas disebut belatung mulia
Hela nafas
Harusnya aku bisa bersikap prokratinasi
Apa daya, bawaan dari lahir antarkan celaka
Bisikan keras memaksa masuk ke telinga
Hawa hidup luruh, runtuh, jatuh
"Panji !!! Bereskan bumi !!!"
Yogyakarta, Februari 2016

Sabtu, 13 Februari 2016

PULANG

Bersenandunglah...bersenandunglah
Lagu kematian menyelinap
Mengeluarkan paksa daya hidup
Dari anak panah, tombak dan keris
Menancap rancap
Mengoyak keberanian

Setelah ini apa lagi
Tidak ada yang peduli
Berapa harga dari sebuah janji
Tiada yang peduli
Bahwa kebanyakan perang terjadi
Sebab janji-janji di ingkari

Aku bagian dari itu semua
Yang kini tunduk lesu
Dengan keris menghujam dada
Setidaknya aku tidak perlu lagi
Ke tempat biadab yang kusebut rumah

Sekian nyawa musuh kutelan
Sedikitpun tiada yang memberi alasan
Bagiku untuk kembali

Manikmaya sialan
Licik, cerdik
Satu-satunya mengapa ia masih terus hidup tidak lain ialah ambisi
Kini untuk berdiri aku tak mampu
Apalagi memenggal kepalanya

Ribuan kilometer dari rumah
Aku akan mengonggok disini
Tanpa ada yang harap kedatanganku

Muak karena istri dan anakku
Meninggalkanku membusuk di medan pertempuran demi laki-laki lain yang duduk di tahta dewan kerajaan

Muak karena sahabat-sahabat yang menusuk dari belakang
Seolah mereka tak pernah diajari menghormati sebuah janji

Muak karena orang-orangnya yang selalu merasa dirinya paling hebat dibandingkan yang lainnya

Aku tidak akan pulang
Keris di dada kucabut
Darah segar mengalir

Lalu bisikan dewa terngiang
'Apa guna hidup kalau berlaku sama seperti orang yang kau benci,?'

Yogyakarta_

Sabtu, 06 Februari 2016

LAGU-LAGU LANGIT LEWAT HUJAN

Perhatikan baik-baik, Nona
Mikail sedang berjoget ria diatas kepala
Kakinya meghentak-hentak di awan
Setiap satu hentaknya
Adalah rintik hujan yang jutaan jumlahnya
Perhatikan baik-baik, Nona
Sambil berjoget Mikail memukuli bayangan matahari
Hingga tiap kali ia memukul
Langit terbelah dan memuntahkan kilat serta guntur
Perhatikan baik-baik, Nona
Kemarilah sejenak
Duduklah tepat dihadapan
Akan kuceritakan kisah
Tentang orang-orang langit
Yang mana setiap hujan turun
Mereka selalu tertawa, berpesta pora sembari dendangkan lagu semesta
Konon, Mikail adalah pembagi rezeki
Hujan, panas, angin, badai
Dan bahkan cinta
Suatu ketika ia mengamati seorang wanita dari alam Marcapada
Sebab saat itu hujan dan badai meliukkan kengerian namun wanita itu tetap berjalan menembus hanya untuk mengantarkan apel pada sang bunda
Mikail terkesima, Tuhan maha tahu bertanya
'Siapa dia?'
'Paduka lebih tahu ketimbang hamba'
'Kamu jatuh hati?'
'Tidak'
'Aku maha tahu'
'Maka jawabannya iya'
Wanita itu menerjang badai
Demi temui sang ibu
Namun sayang, ia tak pernah tahu
Apa itu ibu
Mikail ingin turun dan menghibur
Kala air mata wanita dibalut luka
'Ada apa?'
'Tidak ada, siapa anda?'
'Saya hanya seorang pengelana'
'Maka lebih baik anda tinggalkan saya'
'Kenapa?'
'Karena pengelana tak pernah tinggal lama'
'Lantas? Setidaknya pengelana bisa memberikan hal berarti.'
'Buat apa? Kalau sudah hadir hal berarti, ia pergi dan yang tersisa adalah.....' Sambil terisak wanita itu dan tak mampu lanjutkan perkataannya
'Baiklah kalau begitu, selamat tinggal'
Mikail hilang begitu saja
Wanita menggigil ketakutan
Dari langit
Mikail menurunkan
Hujan mawar merah berbalut darah
Yogyakarta, 07 Februari 2016

Kamis, 04 Februari 2016

LAKI-LAKI UJUNG GANG

Remang jangkau lambai cahaya
Bulan penuh yang tinggal separuh
Diredam mendung jadikan lusuh
Mata nanar tak disangka

Kalbunya ditikam mimpi
Nalar serta ambisi
Peluh
Keringat
Beserta sakit hati

Jiwanya pada tengah keretap hujan bara
Tak pernah lupa dendam selamanya

Laki-laki ujung gang
Kini meringkuk
Nafasnya diburu maut
Sampai kapan merah jadi hijau
Kesadarannya mengalah pada muslihat
Tak sanggup ditangkap
Tangannya meremat aspal
Sambil mengutuk
'Cukup luka ini, hatiku sudah cukup dilukai'