Hayam Wuruk bersedih, setelah beragam peristiwa buruk yang menimpanya. Perang bubat, perseteruan dengan Mahapatih Gadjah Mada, hingga akhirnya Mahapatih dikeluarkan dari istana dan sampai ujung hayatnya dia mokhsa. Menghilang, lebur dengan elemen udara meninggalkan masa gelap yang tengah ia alami. Sedangkan sang Maharaja melakoni perannya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan seusai "hilang" nya Gadjah Mada, sudah ia panggil pembesar-pembesar kerajaan yang pada akhirnya menghasilkan keputusan bahwa tidak ada yang mampu dan dianggap pantas menggantikan Gadjah Mada.
Usia tua menghampiri, dalam benak ia merasa menyesal telah mengeluarkan Mahapatih dari istana hanya karena kepentingan sesaatnya saja. Di sisi lain dalam usia tuanya ia tak memiliki keturunan dari permaisuri berupa seorang laki-laki, dia memiliki seorang anak perempuan dari permaisuri. Anak laki-lakinya lahir dari selir. Kegundahan meliputi sisa nafasnya, keputusan macam apa yang bisa membahagiakan kedua belah pihak. Yaitu, Kusumawardhani putri dari permaisurinya berhak menerima takhta namun ia bimbang karena dia sendiri memiliki seorang putra yang sayangnya lahirnya dari seorang selir. Keputusan akhirnya diambil, kebijakan yang diambil Hayam Wuruk dianggapnya benar. Majapahit dibagi dua dengan harapan tak ada kecemburuan. Bhre Wirabhumi, anak laki-laki yang lahir dari selir diberi daerah di Blambangan, sedangkan Kusumawardhani di kerajaan pusat namun dalam prakteknya, Wikramawardhana, suami Kusumawardhani lebih banyak mengambil setiap kebijakan kerajaan. Bhre Wirabhumi merasa terdiskriminasi, karena seharusnya kerajaan pusat ia yang menguasai sebab dia adalah keturunan laki-laki dari Hayam Wuruk meskipun dari seorang selir.
Kecemburuan dan rasa serakah menjadi selimut di Kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk sudah meninggal karena sakit. Perseteruan dua saudara tak terhindarkan, semua kukuh pada pendirian dan prinsipnya masing-masing, yaitu merasa berhak atas takhta kerajaan. Rakyat awam yang tak tahu apa-apa mengenai konflik keluarga kerajaan menjadi ikut bingung dan dipaksa melawan, membunuh saudaranya sendiri. Masa gelap Majapahit datang, kejayaan yang dipupuk dengan susah payah harus hancur, melepaskan diri dari pusat. Api keserakahan dan kecemburuan menjadi tersangka utama pada perang keluarga yang disebut perang paregrek, selama tiga tahun rakyat menderita karena api keserakahaan tersebut, perang itu tidak terus menerus namun secara berkala. Kadang pihak Bhre Wirabhumi yang menang, kadang Wikramawardhana yang menang.
Dalam masyarakat sekarang, banyak orang-orang aras yang berjuang demi diri sendiri, demi golongan, bukan demi kemashlahatan masyarakat. Api paregreg masih ada sampai saat ini, berkobar pada jiwa-jiwa serakah dan rasa ingin memiliki segala. Menolak mentah-mentah apa yang sudah diberikan. Tak nau meneruma apa adanya dan bertanggung jawab secara maksimal atas apa yang sudah jadi tanggungan. Sama seperti paregreg, yang menjadu korban adalah rakyat yang buta akan apa yang sedang terjadi sebenarnya.
Agni Paregreg bukan hanya di zaman Majapahit. Agni Paregreg yang sebenarnya tengah terjadi saat ini. Di negara yang katanya makmur ini. Api perang saudara sudah diramalkan sejak dulu dan dengan sukarela Majapahit telah bersedia menjadi contohnya. Mari belajar dari lalu untuk lebih baik di masa baru.
0 komentar:
Posting Komentar