Senin, 27 Juli 2015

MOJOKERTO BERKARAT ! (Pameran Seni Rupa dan Fotogafi)

Kenapa harus 'Mojokerto Berkarat' ?
Bagaimana bisa, sebuah wilayah daerah jadi 'berkarat' ?
Apanya yang 'berkarat' ?
Penyebabnya apa kok sampai 'berkarat' ?

Sebenarnya, ini bukan mitos ataupun kabar burung belaka. Namun, sebenarnya benar-benar ada dan akan terjadi di pertengahan Agustus. Kami berniat mengadakan pameran seni rupa dan fotografi, beniat menggosok-gosok semangat pergerakan seni rupa dan fotografi di Mojokerto, dulu pergerakan seni rupa dan fotografi di Mojokerto begitu sering dan intens, namun sekarang sudah tidak lagi. Maka oleh karena itu kamu berniat mengadakan pameran tersebut. Memang, banyak resiko yang harus diterima, mulai dari kurangnya pengunjung, pendanaan yang sulit, minaat sponshor dan donatur yang merasa bahwa kegiatan pameran seperti itu adalah kegiatan yang hambur uang serta tenaga belaka, penyebabnya adalah, penonton datang dan setelah melihati seluruh isi pameran, setelah foto-foto maka mereka pulang. Sungguh hal yang sangat menantang bagi kami, sekian lama kami berulang-ulang mengadakan acara yang berkonsep pertunjukan, rangkaian penampilan seni namun sekarang kami mencoba sesuatu yang benar-benar baru di luar ranah kami yang kebanyakan adalah kawan-kawan yang seni pertunjukan.

Pada Agustus, kami mengadakan pameran seni rupa dan fotografi yang bertemakan kemerdekaan. Lalu, diberi nama 'Mojokerto Berkarat', nama tersebut bukan tanpa alasan. Usia Indonesia sudah hampir menginjak 70 tahun, banyak kejadian yang sudah terjadi, banyak yang makin berkembang, banyak pula yang makin kurang. Kini taruhan kita adalah, apaa yang akan bisa kita lakukan agar seluruh segi kehidupan ini berkembang? Selama ini kita menilainya cuma dari segi politik, ekonomi, dan pemerintahan. Bagaimana dengan kesenian? Indonesia mampu melahirkan maestro-maaestro dalam sastra, seni rupa, musik, teater dan fotografi. Namun rasa-rasanya, mereka tidaak mau di-reinkarnasi, mereka meng-absolut-kan diri sebagai yang satu-satunya, sebagai pelopor dan pionir sehingga kita cuma bisa meniru mereka, terombang-ambing dalam ketidak jelasan genre kesenian. Kemerdekaan sepertinya hanya berlaku pada masa mereka, pada masa kini, ketika perang sudah usai dan darah sudah tidak tumpah, kita warisi perang abadi, yakni perang melawan diri sendiri. Perang untuk menentukan seperti apa seharusnya kita mengisi kemerdekaan. Selepas Affandi, Raden Saleh dan Basuki, kita cuma sebagai peniru. Mungkin kita kurang ber-kontemplasi, memfokuskan diri untuk berani menjadi diri sendiri. Kita tak punya genre untuk menentukan, seperti apa kita ini. Sungguh hal yang ironis, dan apa yang bisa kita lakukan untuk bisa menghindari ke-ironis-an itu?

Mojokerto mabuk dalam nama Majapahit, semua serba Majapahit, membanggakan Majapahit. Lihat tempat-tempat lain yang di tempatnya pernah berdiri Mataram, Sriwijaya, Demak dan bahkan Padjajaran serta yang laainnya. Mereka hidup dengan spirit mereka, bukan malah berusaha menghidupkan seperti yang dilakukan Mojokerto. Mungkin Mojokerto mengganggap terlalu serius ramalan Sabdo Palon Noyo Genggong. Kita harus move on, tidak bisa seperti ini terus, apaa gunanya kemerdekaan kalau yang kita perjuangkan adalah membangkitkan sesuatu sebelum kemerdekaan. Semangat Mojokerto terkesan sedang bergairah namun sebenarnya sungguh coklat, karat. Mari kita gosok dengan kertas gosok, hilangkan karatan itu dengan berani mengambil, mengadakan, mempeloposri acara yang benar-benar beda, seperti Mojokerto Berkarat !!!

0 komentar:

Posting Komentar