Minggu, 14 Februari 2016

TUJUH ANAK PANAH 1-8

Malam tepekur
Kepala kelelawar juntai ke bumi
Matahari bersilang dada di sisi lain
Menghadap gunung dan lembah-lembah
Di Marcapada
Tidak butuh waktu lama untuk mati
Hidup adalah berharga
Dibanding kehormatan semata
Atas dasar itu
Pertikaian menyimpan kado terbaik
Yakni hidup
Pertama kali aku melihatnya
Jalan gelap hitam
Merahasiakan kepedihan dalam
Termangu pada ambang pintu
Anjing-anjing penjaga tidur
Tak terbangun oleh erangan
Perawan cantik yang sedang diperkosa
Tumbuh perkasa sang gelap
Mimpi buruk ditelan semua
Kotorannya, kesepian
Langkahku kaku
Dan terhampar angkuh di depanku
Teramat lelap sang Gelap
Satu langkah ke depan atau belakang
Kalau saja kehormatan bukan soal
Pasti tegas aku pergi dari ambang pintu
Anjing+anjing mendengus basah
Erangan bocah kecil yang kepalanya dicabut dari pangkal leher
Tugas seberat ini mengapa aku?
Banyak yang lebih layak
Dibelakang
Serdadu-serdadu menghamili ibu-ibu hamil
Jendral, Komandan dan Letnan
Tidur pada kasur emas empuk
Bergulingkan pelacur istana
Komersialitas akan kebaikan
Jaminan untuk pendakian
Menuju kesewenang-wenangan
Ideologi serta kebudayaan dibedakan
Pembedanya mengumpama
Air kencing kuda atau air kencing manusia
Kacau, luluh rantak tanah darah
Kyai dan dukun berkoalisi
Ingin membuatku mati bunuh diri
Bai'at tadi sia-sia belaka
Karangan indah tentang Tujuh Anak Panah
Beserta busur kedamaian
Semuanya busuk
Belatung tua yang menimpakan tanggung jawab pada anak muda tak pantas disebut belatung mulia
Hela nafas
Harusnya aku bisa bersikap prokratinasi
Apa daya, bawaan dari lahir antarkan celaka
Bisikan keras memaksa masuk ke telinga
Hawa hidup luruh, runtuh, jatuh
"Panji !!! Bereskan bumi !!!"
Yogyakarta, Februari 2016

0 komentar:

Posting Komentar