Selasa, 18 Agustus 2015

KEMERDEKAAN HARUS DIBATALKAN

Selamat untuk kita, untuk bangsa Indonesia yang tengah berbahagia merayakan kemerdekaan Indoneaia yang ke-70. Usia yang lebih tua daripada negara yang lebih 'dunia ketiga', namun sangat muda bagi negara yang sudah 'dunia pertama'. Pada pukul 10.00 WIB, 17 Agustus 2015, Pak Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia setelah tiga setengah abad dicengkram penjajahan. Prestasi yang selamanya tak kan tertandingi bagi bangsa kita saat ini. Pastinya, kesukaan dan kebahagiaan atas merdekanya bangsa kita adalah suatu kewajaran, tentunya senantiasa juga diiringi instropeksi mendalam, selama 70th, apa yang sudah kita capai atau yang masih dalam bingkai gagasan. Tak usahlah berpikiran tentang apa yang telah dicapai bangsa dalam setiap perjalanannya, namin apa yang sudah kita (pribadi) berikan dalam mengisi wadah lebar warisan para pejuang terdahulu.

Bicara tentang kemerdekaan, perlu saya katakan bahwa yang merdeka itu bukan kita, namun para pejuang terdahulu, mereka korban darah, dana dan bahkan meninggalkan keluarga untuk membela tanah air, mengusir para penjajah yang menyedot habis ruang gerak bagi pribumi. Lha kita ini ikut apa? Berperang? Menyusun strategi untuk menyerang penjajah? Merumuskan diplomasi-diplomasi tertentu untuk membuat penjajah terkecoh? Tidak ada, kita tidak melakukan apa-apa, yang melakukan perjuangan itu para tetua bangsa yang kebanyakan dari mereka sudah abadi didalam catatan buku-buku pelajaran sejarah sekolah. Jadi, intinya adalah kemerdekaan yang kita riuh ramaikan meramaikannya saat ini adalah kemerdekaan waris. Bukan milik kita, menyebalkan bukan?

Pada tulisan ini, mari kita balik apa yang selama ini kita yakini tentang kemerdekaan. Saya tidak akan memunculkan beragam kata manis yang hanya umtuk merupakan diri 'nasionalis', biar dipandang orang bahwa dirinya adalah seorang yang menghargai perjuangan bangsa. Menyikapi kenyataan bahwa kemerdekaan yang kita rayakan selama ini adalah kemerdekaan waris.

Mengetahui bahwa kemerdekaan yang kita terima adalah kemerdekaan waris maka hanya satu kata yang dengan tegas diucapkan, 'tolak' kemerdekaan yang selama ini kita rayakan saat ini dengan berbesar hati kita rayakan untuk para pejuang bangsa yang mungkin sudah habis dimakan cacing namun abadi dalam buku-buku sejarah sekolah.

Yang merdeka bukan kita, jadi kita harus menolak kemerdekaan ini, kita kembalikan saja kemerdekaan pada para pahlawan, mungkin dengan cara yasinan saat upacara atau bagaimanalah caranya. Lalu, bagimana dengan kita, kemerdekaan apa yang bisa kita terima, sedangkan kita melonjak-lonjak lomba makan krupuk, sejatinya, krupuk itu adalah potongan tubuh para pejuang yang putus saat perang, kita adu balap karung, sejatinya karung yang kita gunakan adalah kain kafan para pejuang. Kenyataan memang jahat, setidaknya, bagaimanapun jelek kenyataan ia harus disampaikan, tinggal anda pikir-pikir sendiri saja sekarang.

Hanya ada dua pilihan, tolak kemerdekaan dengan cara mengembalikannya pada para pejuang dengan cara sepenuhnya berduka bahwa kemerdekaan yang kita dapat adalah jalan menuji keterbatasan hidup yang makin parah atau terima kemerdekaan itu, dengan cara bersuka cita diatas darah pera pejuang bangsa.


0 komentar:

Posting Komentar